Mengenal Teknologi Modifikasi Cuaca, Berperan dalam Mitigasi Bencana

Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) bukan barang baru bagi Indonesia. Sejak 1977, proyek yang dulu lebih dikenal dengan istilah hujan buatan itu sudah dimulai. Ide itu muncul, saat Presiden Soeharto melihat pertanian di negara Thailand cukup maju. Setelah diamati, majunya pertanian Thailand disebabkan karena supply kebutuhan air pertanian dibantu oleh modifikasi cuaca.

“Berawal dari itu, Presiden Soeharto mengutus Pak Habibie untuk mempelajari TMC ini, kemudian tahun 77 dimulai proyek percobaan hujan buatan yang waktu itu masih didampingi asistensi dari Thailand. Jadi memang awalnya dulu TMC ini dipelajari di Thailand dan diaplikasikan di Indonesia fokusnya untuk mendukung sektor pertanian dengan cara mengisi waduk-waduk strategis baik untuk kebutuhan PLTA atau irigasi,” jelas Koordinator Laboratorium Pengelola Teknologi Modifikasi Cuaca Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Budi Harsoyo saat ditemui di Posko TMC yang berlokasi di Wing Udara 1 Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Kamis (29/12).

Harsoyo menyebutkan setelah melakukan percobaan hujan buatan 1977, baru tahun 1978 Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) berdiri dan proyek hujan buatan saat itu berada pada Direktorat Pengembangan Kekayaan Alam (PKA). Tahun 1985 berdiri UPT Hujan Buatan berdasarkan SK Menristek/Ka BPPT No 342/KA/BPPT/XII/1985. Lalu tahun 2015, mulai dikenal istilah Teknologi Modifikasi Cuaca sesuai dengan Peraturan Kepala BPPT No 10 Tahun 2015 yang mengubah nomenklatur UPT Hujan Buatan menjadi Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca.

“Tahun 2021 setelah terintegrasi ke BRIN, kini pelayanan TMC berada di Laboratorium Pengelolaan TMC di bawah Direktorat Pengelolaan Laboratorium, Fasilitas Riset dan Kawasan Sains dan Teknologi,” ungkap Harsoyo.

Dijelaskan Harsoyo, dalam satu dekade terakhir, frekuensi bencana hidrometeorologi semakin meningkat, baik kebakaran hutan dan lahan, longsor, dan banjir. Sehingga pengaplikasian TMC berkembang untuk memitigasi bencana. “Saat ini TMC paling banyak dan rutin digunakan untuk kebutuhan kebakaran hutan dan lahan yang hampir setiap tahun dilakukan. Bahkan Thailand yang dulu kita pelajari, sekarang justru belajar operasi TMC dari Indonesia terutama untuk kebutuhan mitigasi bencana, karena memang kita ini berkembang dalam operasionalnya,” ungkap Budi Harsoyo.

Tren permintaan TMC kemudian meluas sesuai kebutuhan, seperti penanggulangan kebakaran hutan dan pembasahan lahan gambut, penangulangan banjir dan pengurangan curah hujan ekstrem, hingga pengamanan infrastruktur dan acara besar kenegaraan. Pertama kali, operasi TMC yang bertujuan untuk mengurangi curah hujan diaplikasikan untuk mendukung kelancaran penyelenggaraan SEA Games XXVI Palembang 2011, kemudian dilakukan untuk penanggulangan banjir Jakarta tahun 2013, 2014, dan 2020, Moto GP Mandalika 2022, hingga yang terakhir KTT G20 2022.

Cara Kerja Operasi TMC

Operasi TMC pada dasarnya dilakukan untuk mem-premature-kan kejadian hujan yang seharusnya secara alami turun di daerah target, potensi awan hujan dijatuhkan di luar target sehingga dapat mengurangi intensitas hujan di daerah target. Hal itu dilakukan dengan memicu potensi awan hujan yang ada di atmosfer dengan menebar garam ke dalam awan hujan, sehingga bisa turun jatuh menjadi hujan di tempat tertentu yang diinginkan sesuai kebutuhan dan tujuan.

“Yang patut dicatat dan dipahami TMC ini meski orang mengenal dengan hujan buatan, tapi kami tidak bisa membuat hujan. Kalau kami diminta melakukan operasi TMC untuk mengisi waduk pada saat musim kemarau yang dalam kondisi kering dan tidak ada potensi awan, kami tidak bisa melakukan apa-apa, ini yang kita sampaikan terutama kepada stakeholder,” ujarnya.

Dalam melakukan operasi TMC, lanjut Harsoyo, pihaknya bekerjasama dengan BMKG dan TNI AU. BMKG berperan terutama dalam men-supply data dan informasi cuaca, awan dan arah angin. Sedangkan TNI AU menyediakan armada pesawat, khususnya untuk operasi TMC yang bertujuan dalam mitigasi bencana. Biasanya radar cuaca BMKG menginformasikan keberadaan awan target dan arah kekuatan angin ke pilot. Kemudian pesawat Casa yang membawa muatan garam (NaCl) akan menyemai awan hujan target, dimana posisi pesawat selalu berada di antara arah angin dan awan hujan target. “Hujan sebisa mungkin diturunkan sebelum awan tiba di daerah target, sehingga intensitas hujan di daerah target berkurang,” kata Harsoyo.

Untuk operasi TMC dalam penanggulangan bencana seperti sekarang ini, kata Harsoyo, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bisa membiayai dengan anggaran siap pakai kebencanaan, dengan syarat wilayah provinsi terdampak wilayah provinsi terdampak sudah mengeluarkan status siaga darurat bencana. Sedangkan untuk operasi TMC karhutla, biaya operasional dibiayai oleh KLHK dan juga dana CSR perusahaan. “60 persen biaya operasi TMC itu untuk biaya bahan bakar pesawat dan perawatannya, sehingga biayanya cukup besar,” ulasnya.

Dijelaskan Harsoyo, TMC sebenarnya sudah mulai dikembangkan dengan metode penyemaian dari darat melalui menara Ground Based Generator (GBG). Namun sejauh ini baru bisa diimplementasikan untuk pengisian waduk. Hal ini karena menara ditempatkan di daerah topografi tinggi dan menggunakan bahan semai dalam bentuk flare yang dibakar dengan berisi garam KCL, fungsinya untuk menambah inti kondensasi jika dimasukan ke dalam awan.

“Memang ada kelebihan dan kekurangan. Kelebihan Menara GBG ini biaya operasional lebih murah dan dapat beroperasi 24 jam. Tapi kekurangnya sifatnya statis, jadi operasi TMC hanya bisa dilakukan saat ada awan yang mendekat ke menara saja,” ulasnya.

Sumber : https://brin.go.id/news/111205/mengenal-teknologi-modifikasi-cuaca-berawal-untuk-pertanian-kini-berperan-dalam-mitigasi-bencana

Scroll to Top